Daftar Isi
Kode Etik adalah panduan seseorang dalam melakukan suatu profesi. Dalam melakukan tugasnya, jurnalis juga mempunyai kode etik tersendiri agar tidak menyalahgunakan profesinya.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Berikut adalah sebelas pasal KEJ.
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Setiap wartawan harus senantiasa bersikap independen yang artinya memberitakan fakta atau peristiwa nyata tanpa adanya paksaan atau gangguan dari siapapun. Akurat berarti berita yang jelas darimana sumbernya dan dapat dipertanggungjawabkan. Setiap wartawan juga harus memberi kesempatan yang sama untuk setiap pihak (berimbang) dan tidak mempuyai niat buruk untuk merugikan pihak lain.
Contohnya, jurnalis yang memberitakan tentang kecelakaan kereta api. Dalam memberitakan tersebut, untuk mendapatkan berita yang akurat dan berimbang, jurnalis harus mendapatkan keterangan dari saksi mata, pihak kereta api dan pihak polisi sebagai penengah. Jadi informasi yang didapatkan tidak berat sebelah.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Profesional dalam arti selalu menunjukkan idenditas diri kepada narasumber, menghormati hak privasi dan segala pengalaman traumatik arasumber dalam penyajian gambar dan suara, tidak menerima suap, menyajikan berita yang jelas sumbernya, dan tidak melakukan plagiat seperti hanya menyadur artikel lain tanpa memberi referensi apapun.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang mengahakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Setiap wartawan harus selalu berhati-hati dan melakukan pemeriksaan secara berulang-ulang sebelum memberitakan sesuatu, berimbang dalam arti tidak condong terhadap satu pihak. Selain itu, setiap wartawan juga harus dapat memisahkan fakta dan opini, serta tidak menghakimi orang.
Contohnya, walaupun wartawan tersebut sedang mewawancarai seseorang yang dikenalnya dengan baik, jadi ia menulis yang baik-baik tentang orang tersebut, atau bisa sebaliknya. Wartawan harus senantiasa menulis sesuai fakta yang ada.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Bohong adalah segala sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan tersebut namun diberitakan berbeda dengan fakta yang ada, termasuk dengan menambahkan bumbu-bumbu agar berita tersebut lebih dramatis. Wartawan juga tidak boleh menuduh tanpa dasar apa-apa (fitnah), bersikap kejam dan tanpa belas kasihan (sadis) serta memberitakan sesuatu yang dapat membangkitkan nafsu birahi (cabul).
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Identitas yang dimaksud disini adalah semua data dari korban yang dapat dilacak orang. Sedangkan batasan umur seorang anak adalah kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Wartawan bisa memberi inisial nama korban tersebut atau jika di media televisi, wajah, dan suaranya bisa disamarkan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Menyalahgunakan profesi adalah segala sesuatu yang dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi dan dilakukan selama bertugas. Suap disini juga bukan hanya sekedar uang, namun segala bentuk barang dan fasilitas.
Jika wartawan tersebut tidak bisa menolak “amplop” dikarenakan dengan kondsi yang ada, ia bisa menerimanya terlebih dahulu dan berikan keatasannya. Biar atas nama medianya saja yang mengembalikan kepada pihak yang bersangkutan tersebut.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Setiap wartawan harus menghormati permintaan narasumber untuk tidak menyebarkan segala data tentang dirinya dan keluarganya jika dapat menganggu keamanan mereka. Selain itu wartawan juga harus menghormati setiap permintaan narasumber untuk menunda penayangan berita.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Prasangka adalah anggapan yang tidak baik namun belum jelas kebenarannya. Diskriminasi disini berarti segala sesuatu yang membeda-bedakan perlakuan, biasanya bersangkutan erat dengan Suku, Agama, Ras dan Antargologan (SARA).
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Kehidupan pribadi narasumber dalah segala sesuatu tentang narasumber dan keluarganya yang tidak memiliki kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Permintaan maaf dilakukan jika ada kesalahan yang terkait substantif pokok. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin dengan ada atau tidak adanya teguran dari pihak luar.
Seperti yang dikutip dari The Washington Times saat memberitakan bahwa koran harian Florida yang meminta maaf kepada pembaca karena tidak cukup objektif saat memberitakan tentang Donald Trump.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proposional.
Setiap wartawan harus mendengarkan tanggapan dan koreksi dari seseorang terhadap pemberitaan yang menyangkut fakta.
Penilaian akhir atas pelanggaran KEJ dilakukan oleh Dewan Pers. Sedangkan, sanksi atas pelanggaran KEJ dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Biasanya sanksi yang dikenakan bisa bermacam-macam tergantung seberapa parah pelanggaran yang diperbuat, dimulai dari hanya teguran lisan sampai pemecatan yang bisa berdampak hancurnya kredibilitas seorang jurnalis.